Monday, July 2, 2007

amankah PLTN

Bayangan banyak orang akan seketika tertuju pada ledakan Chernobyl, 26 April, 1986 manakala PLTN Indonesia diperbincangkan. Para teknolog dari BATAN dan pegiat teknologi nuklir berusaha meyakinkan tingkat keamaanan rencana PLTN Indonesia yang rencananya akan menggunakan teknologi PWR (pressurized water reactor). Air bertekanan tinggi digunakan untuk mendinginkan reaktor nuklir. PWR dipakai dan diterima sebagai teknologi nuklir teraman untuk saat ini. Dengan merujuk pada data internasional inilah para teknolog nuklir Indonesia memberi jaminan keamanan teknologinya. Bahkan beberapa reaktor kecil untuk penelitian juga sudah berjalan dengan baik.

Opini pertama:

Saya mencoba menggunakan cara berpikir terbalik. Kalau memang di daerah Muria adalah lokasi yang stabil dan teknologi PWR memang aman, bersediakah para penggagas PLTN untuk berpindah hidup di daerah tersebut.
Opini kedua:

Dengan melihat beberapa kasus terakhir, misalnya efek semburan lumpur lapindo dan ledakan pipa uap di PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) milik PT GDE (Geo Dipa Energi) unit Dieng, Banjarnegara [1,2] dapat menjadi bukti bahwa teknologi aman di LN belum tentu aman di tangan teknolog Indonesia.
Kasus lumpur Lapindo jika ditelusur berawal dari kecerobohan pengeboran. Para pekerja lapangan enggan menggunakan prosedur yang standar. Kasus kedua masih dicurigai karena pipa tersumbat atau korosi. Ini juga tidak bisa diterima karena teknologi terkini bisa memperkirakan berapa laju korosi yang terjadi dan kalau pun tersumbat mestinya bisa dilihat dari sejarah perubahan tekanan dalam section-section pipa. Artinya untuk kasus kedua, tidak ada kecermatan dari pengelola dan barangkali juga tidak ada maintenance dari pipa-pipa yang mereka punyai.

Dari dua kasus ini saja saya termasuk yang ragu dengan keamanan PLTN sistem PWR tetapi bukan ragu dari sisi teknologi tetapi dari ketaatan pada prosedur dan kepekaan terhadap bahaya yang mungkin timbul dari suatu kegiatan teknologi. Bisa dibayangkan juga bahwa kedua kegiatan teknologi pengeboran dan pipa uap adalah teknologi yang lebih rendah resikonya dibandingkan teknologi PLTN PWR.

Masih banyak tahapan pembelajaran yang perlu dipahami terlebih dulu /prasyarat oleh masyarakat dan pelaku teknologi di Indonesia untuk menerapkan teknologi dari negara maju khususnya masalah kepatuhan pada aturan/standard. Yang diperlukan bukan hanya risk assesment (RA) di atas kertas, tetapi RA yang sudah mendarah daging dan menjadi culture keseharian. After this culture is fulfilled, i will believe that your PLTN is safe with (let say) 95 confident and vice versa. Ada kemungkinan opini saya ini salah!

Catatan: beberapa manfaat nuklir dibidang non-senjata dapat dilihat di [
*].
Graz, 02.07.2007 19:18.

2 comments:

Suyitno said...

Berita terakhir, pemerintah dalam hal ini kementerian ristek akan melakukan sosialisasi dengan mengajak tokoh masyarakat mengunjungi PLTN di negera lain [http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0707/06/nas16.htm]. Dana 5 milyar pun akan disiapkan. Namun begitu, sosialisasi semacam ini tidak menjawab kekhawatiran saya tentang disiplin para pelaksana PLTN.

Suyitno said...

Pengalaman lapangan di Sarulla, Sumatera Utara, menunjukkan, aparat pemerintah,termasuk dokter Puskesmas setempat ,jarang jujur membeberkan risiko yang dihadapi rakyat sekitar.Padahal, dari 13 sumur panas bumi peninggalan perusahaan tambang migas AS, Unocal, dua sumur sudah mengalami musibah. Pertama, sumur SIL 2.1 di Desa Sigurunggurung meledak di peralihan 1995/96. Kedua, sumur NIL C di Desa Mataniari mengalami kebocoran pada November 2006.
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0707/23/opi04.htm