Friday, July 6, 2007

the future of mechanical engineering (4)

Pada bagian terdahulu, saya mencoba menguak beberapa peluang dari jurusan teknik mesin. Tulisan tentang teknologi pemesinan (1) dan teknologi sheet metal forming, welding and construction (2) merupakan teknologi dasar dari teknik mesin. Walaupun CNC dan teknologi berpresisi tinggi sudah masuk kedalam sebagian kurikulum, namun belum terlihat korelasi antara investasi keilmuan tersebut dengan aplikasi real di masyarakat. Usaha kecil-menengah (UKM) yang notabene berkapital tidak terlalu besar umumnya lebih suka mencari alternatif teknologi yang sesuai dengan anggaran mereka. Disinilah sebenarnya unit-unit workshop/lab. teknologi berpresisi tinggi di jurusan teknik mesin dapat menjual jasa/skill nya pada sektor UKM untuk memberi asistensi.

Di bidang material, yang masih berhubungan erat dengan teknik pemesinan, hiruk-pikuk keilmuan saat ini diramaikan dengan segudang penemuan dan inovasi di bidang nanometarial, polimer (*), dan komposit (*).

Komposit adalah material teknik yang dibuat dari dua atau lebih material yang mempunyai sifat fisik/kimia yang secara signifikan berbera dimana material tsb tetap berbera dan terpisah pada tingkat makroskopik dalam struktur yang sudah selesai. Polimer adalah material yang terdiri dari molekul dengan massa molekul besar dan terdiri dari pengulangan satuan struktur (monomer) dan dihubungkan dengan ikatan kimia kovalen. Contoh polimer yang umum dikenal di teknik mesin adalah plastik. Sedangkan nanomaterial adalah material yang diproses dengan memanfaatkan partikel-partikel ukuran nano. Dengan menggunakan teknologi nano, suatu material dapat direkayasa menjadi lebih kuat, lebih keras, atau sesuai dengan keinginan pengguna.

Komposit yang relatif lebih mudah dipelajari dibanding nanomaterial mengalami perkembangan keilmuan yang cukup menggemberikan. Walaupun demikian, daya serap material komposit dari riset anak negeri di dunia industri juga masih terbatas. Di
jurusan teknik mesin ft uns, misalnya dikembangkan juga material komposit serat alam (cantula), serat Chopped Strand, serat Woven Roving, serat gelas, rami, dan sengon, dan serat unsaturated polyester. Arah pengembangan riset material komposit juga masih terbatas riset dasar yang masih perlu waktu dan usaha lebih keras untuk bisa diwujudkan menjadi material bermanfaat.

Selain material komposit sebenarnya ada material polimer yang penggunaannya dalam kehidupan sudah menadi kebutuhan ‘utama’. Tengoklah misalnya, adakah alat rumah tangga yang tidak ada bahan plastiknya. Di kantor kita tidak lepas dari kebutuhan kertas. Bahkan sehari-hari kita juga memakai pakaian yang sebagiannya juga terbuat dari bahan polimer. Khusus plastik, di kurikulum jurusan teknik mesin hanya menjadi suplemen kecil yang umumnya ditempelkan dalam mata kuliah proses produksi. Tidak banyak jurusan mesin yang bergelut dengan material yang satu ini. Peralatan laboratorium untuk riset plastik juga sangat minim (kata lain dari tidak ada). Padahal kebutuhan industri dan masyarakat sangat banyak. Peralatan untuk riset polimer di Indonesia yang sudah memamadai misalnya dapat dikunjungi di sentra teknologi polimer di Serpong.

Plastik dikelompokkan menjadi 7 jenis, yaitu PET (PETE), HDPE, PVC, LDPE, PP, PS, dan lainnya. PET atau polietilen terephthalate umunya ditemukan dalan botol minuman ringan dan botol minyak goreng. DPPE atau high density polietilene umumnya ditemukan dalam botol deterjen dan botol susu. PVC, polivinil klorida umumnya ditemukan pada pipa plastik, furnitur luar, dan botol air. LDPE atau low density polietilene umumnya ditemukan pada kantong pembersih kering (dry-cleaning bags) dan kontainer penyimpan makanan. PP atau polipropilene dapat ditemukan dalam sedotan/selang minum. PS atau polistirene umumnya ditemukan dalam gelas plastik dan tatakan daging. Selain dari 6 kelompok di atas, plastik jenis lain ditemukan misalnya di Tupperware [
*]. Jenis-jenis plastik tersebut dapat dilihat dari standard penandaannya seperti terlihat pada gambar di depan.

Arah teknologi material plastik ke depan nampaknya akan berubah dengan isu lingkungan. Plastik yang ada sekarang, banyak yang menjadi limbah selain tentunya ada yang bisa didaur ulang. Pemrosesan sampah plastik di incinerator juga memunculkan problem tersendiri selain zat dioksin yang berbahaya. Dioksin adalah salah satu dari sedikit bahan kimia yang telah diteliti secara intensif dan telah dipastikan menimbulkan Kanker. Bahaya dioksin sering disejajarkan dengan DDT, yang sekarang telah dilarang di seluruh dunia. Selain dioksin, abu hasil pembakaran juga berisi berbagai logam berat yang terkandung di dalam plastik. Maka beberapa peneliti kemudian mengubah arah penelitian plastik supaya dapat mudah diuraikan. Penemuan terkini misalnya, plastik sudah bisa dibuat dari tumbuhan [*].

Polimer biodegradable dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu biosintesis seperti pada kanji dan selulosa, proses bioteknologi seperti pada poli (hidroksi fatty acids), dan dengan proses sintesis kimia seperti pada pembuatan poliamida, poliester, dan poli (vinil alkohol). Kanji dan selulosa diperoleh langsung dari sintesis alam, dengan jalan ini dapat diperoleh biopolimer dalam kuantitas yang besar dan murah, tetapi memiliki kelemahan dalam hal penyerapan air yang tinggi dan tidak dapat dilelehkan tanpa bantuan aditif [
*].

Pertanyaannya, dari sekian banyak jurusan teknik mesin di Indonesia mengapa tidak ada yang mempunyai spesialisasi di bidang teknik material plastik, khususnya yang dapat diuraikan (degradable). Aneh bukan?

1 comment:

Anonymous said...

mas...
kalo yang meriset tentang material plastik bukan oleh mechanical engineering mas....melainkan material engineering...
material engineering itu ilmu yang mempelajari seluk belu suatu material, biasa dibedakan menjadi material logam, polimer, komposit, dan keramik...
setahu saya kalo di indonesia material engineering itu baru ada di ITB, UI, ITS...coba mas googling lagi tentang material engineer ^^